Oleh: Syafaruddin Usman MHD
Di kalangan umat Islam
melalui pemukanya di Pontianak, sudah tertanam hasyrat dan keinginan
memiliki masjid yang multi fungsi. Hasyrat itu kian menyala, manakala
para tokoh tersebut menyaksikan beridirnya Masjid Syuhada di Jogjakarta
[1949] dan Masjid al-Azhar di Jakarta pada tahun yang sama, serta
direncanakannya Masjid Istiqlal oleh Bung Karno permulaan 1950-an. Saat
Kongres Muslimin Indonesia [KMI] Desember 1949 di Jogjakarta, delegasi
KMI Kalimantan Barat Achmad Mawardi Djafar, Abdur Rani Machmud,
Mohamad Akib, Hasan Koeboe, Muzani A Rani dan Azhari Djamaluddin, di
sela-sela kongres, menemui Mr Assaat sutan Mudo, penggagas Masjid
Syuhada Jogja untuk kondolidasi.
Mawardi Djafar dan
Mohamad Akib meminta petunjuk tokoh nasional yang sempat sebagai
Pejabat Presiden RI itu tentang nawaitu mereka membangun masjid serupa
di Pontianak. Sampai saat itu di antara delegasi KMI Kalimantan Barat
ini belum memiliki konsep yang pasti tentang masjid besar yang akan
dibangun. Di Pontianak sudah lebih dulu berdiri Masjid Jami Istana
Kadriyah, belakangan dikenal sebagai Masjid Jami Sultan Abdurrahman,
kemudian Masjid Taqwa di Kampung Mariana di mana Mohamad Akib ikut
membidani berdirinya, serta Masjid Islamiyah di Kampung Bangka yang
antara lain diusahakan H Hasan.
Awal 1950, sekembali
delegasi KMI ke Pontianak, hasyrat memiliki masjid yang multi fungsi itu
pun semakin diintensifkan. Maka, selama tahun-tahun tersebut, Achmad
Mawardi Djafar dan Mohamad Akib, aktif bersilaturahmi dengan para pemuka
masyarakat muslim di Pontianak. Mereka berdua menghimpun segala upaya
untuk merintis berdirinya masjid yang diidamkan tersebut.
Hingga
empat tahun setelah konsolidasi 1949 dengan tokoh muslim terkemuka
seperti Mr Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Natsir, Syamsurizal, Buya
HAMKA dan Anwar Tjokroaminoto, maka pada Jumat, 2 Oktober 1953,
dikukuhkan dengan Akta nomor 2 Notaris Achmad Mourtadha di Pontianak,
dibentuk yayasan dengan nama Yayasan Mujahidin. Para pendiri yayasan ini
masing-masing H Achmad Mashur Thahir [pengusaha terkemuka], Mohamad
Saad Karim [Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Pontianak], Merah
Kesuma Indra Mahyuddin [pengusaha terkemuka], Achmad Mawardi Djafar
[Koordinator Penerangan Agama Daerah Kalimantan Barat], Gulam Abas
[pengusaha] dan Mohamad H Husein [pengusaha].
Keenam tokoh
tersebut berbekal modal tunai Rp 1000[seribu rupiah] nilai tukar masa
itu, mendirikan yayasan dimaksud dengan tujuan utama merintis dan
mendirikan masjid di Kota Pontianak yang akan diberi nama Masjid
Mujahidin. Hal itu termaktub di dalam Pasal 3 Akta Notaris tersebut, di
mana dalam Tujuan dan Usaha, diuraikan bahwa: “... Tujuan mutlak
yayasan ini, ialah mendirikan sebuah masjid di Kota Pontianak yang akan
diberi nama Majahidin ...” Untuk mewujudkan tujuan ini, yayasan
berusaha maksimal mengembangkan modal awal Rp 1000 yang disimpan pada
suatu rekening istimewa di Bank Rakyat Indonesia di Pontianak dengan
mengupayakan memperoleh derma, subsidi pemerintah serta sokongan dan
penerimaan legal lainnya.
Untuk pertamakalinya,
kepengurusan Yayasan Mujahidin yang dibentuk 2 Oktober 1953, terdiri
dari dua orang penasehat, masing-masing Residen Koordinator Kalimantan
Barat dan Walikota Besar Pontianak. Komisi Pengawas terdiri dari Raden
Djenal Asikin Judadibrata [Residen Koordinator Kalimantan Barat] dan
Raden Soedjarwo [Bupati Kabupaten Pontianak di Pontianak]. Badan
Pengurus terdiri dari H Achmad Manshur Thahir [Ketua Umum], Mayor TNI
Aminuddin Hamzah [Ketua I], Mohammad Saad [Ketua II], Merah Kesuma Indra
Mahjuddin [Penulis I], Achmad Mawardi Djafar [Penulis II], Gulam Abas
[Bendahara I] dan Mohammad H Husein [Bendahara II]. Selaku
penandatangan akta notaris, mewakili para penghadap lainnya,
masing-masing H Achmad Manshur Thahir, Mohamad Saad Karim, Merah Kesuma
Indra Mahyuddin, Achmad Mawardi Djafar, Gulam Abas dan Mohamad H
Husein.
Dipilihnya nama Mujahidin untuk yayasan dan
masjid yang dirintis tersebut, diusulkan oleh Achmad Mawardi Djafar,
dengan pemikiran mengabadikan perjuangan kaum muslim dalam kancah
kolektif mempersembahkan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Kalimantan
Barat. Mereka maksudkan, Mujahidin sebagai monumen perjuangan ummat.
Dan para penggagas yayasan ini sendiri notabene adalah pelaku sejarah
di daerah ini, khususnya Achmad Mawardi Djafar dan H Achmad Manshur
Thahir.
Setelah terbentuknya yayasan tersebut, tidklah
berarti segala kesulitan teratasi dalam rangka membangun masjid yang
diidamkan. Sebab, membangun masjid modern untuk ukuran zamannya di
Pontianak ketika itu, bukan perkara yang mudah. Berbagai usaha segera
dijalankan. Dengan faktor minimnya pendanaan, hingga dari waktu ke
waktu, masjid yang digagas inipun belum juga kunjung didirikan. Namun,
Yayasan Mujahidin berusaha semaksimal mungkin sesuai tujuan semulanya.
Perjalanan
waktu, delapan tahun kemudian, pada 7 September 1961, diadakan
pembaharuan kepengurusan Yayasan Mujahidin. Ini dimaksudkan untuk
mempercepat pencapaian tujuan semula, membangun masjid modern di tengah
Kota Pontianak. Dalam kepengurusan yang diperbaharui itu, terdiri dari
tiga Penasehat: Pangdam XII Tanjungpura Brigjen Soedarmo, Wakil
Gubernur Kalimantan Barat Letkol Iwan Soepardi dan Walikota Kepala
Daerah Kotapraja Pontianak HA Muis Amin. Komisi Pengawas masing-masing
Raden Djenal Asikin Joedadibrata, Mohammad Akib dan H Abdussjukur Ketua
DPR Daswati II Kalimantan Barat. Badan Pengurus masing-masing Ketua
Umum H Achmad Manshur Thahir, Ketua I Andi Odang, Ketua II Ardan,
Sekretaris I Muzani A Rani, Sekretaris II Achmad Mawardi Djafar,
Bendahara I Merah Kesuma Indra Mahjudin dan Bendahara II Hasnul Kabri.
Anggota terdiri dari Burhanuddin, Mohamad Saad Karim, HM Saleh HA
Thalib, Andi Jusuf, Saiyan Tiong, M Soedarjo, Aliaswat Saleh dan
Mohamad H Husein.
Kepengurusan baru ini berusaha
mensinergikan secara optimal keberadaan mereka untuk mencapai tujuan
semula. Namun, malapetaka sejarah terjadi, beberapa di antara pengurus
baru ini tertimpa musibah kezaliman Partai Komunis Indonesia [PKI],
akibatnya mereka ini dinon-aktifkan. Kondisi itu, bersamaan
dibubarkannya Partai Masyumi, di mana aktifis Yayasan Mujahidin serupa
Achmad Mawardi Djafar dan Muzani A Rani adalah dua tokoh utama Masyumi
di Kalimantan Barat. Mawardi Djafar anggota DPR Daswati I Kalimantan
Barat dari Fraksi Masyumi dan Muzani A Rani anggota Konstituante wakil
Masyumi dari Kalimantan Barat. Namun, kelahiran Orde Baru memberikan
perubahan tatanan kenegaraan, dan mereka pun kembali beraktifitas di
tengah masyarakat.
Selanjutnya, ketika Gubernur
Kalimantan Barat dijabat Kol Kadarusno, kepengurusan yayasan mengalami
perubahan untuk kedua kalinya. Dua orang tokoh pemuka masyarakat muslim
Kalimantan Barat, Achmad Mawardi Djafar dan A Muin Idris, diberi
mandat oleh yayasan pada 18 Januari 1975 untuk mewakili Yayasan
Mujahidin untuk melakukan pembaharuan kepengurusan serta mempertegas
maksud dan tujuan dari yayasan ini. Maka, pada Kamis 29 Februari 1975,
dengan Akta Nomor 40 Notaris Mohamad Damiri di Pontianak, terbit Akta
Perubahan Yayasan Mujahidin. Dan di bawah kepemimpinan Gubernur
Kadarusno, pembangunan wujud fisik masjid dilaksanakan secara intensif.
Kepengurusan
baru terdiri Ketua Umum Kadarusno, Ketua I Mohamad Barir SH, Ketua II H
Achmad Manshur Thahir, Sekretaris I Achmad Mawardi Djafar, Sekretaris
II Drs Noor Ismail, Bendahara Drs Nurdin. Pembantu Hasnul Kabri, HM
Saleh H Thalib, Saiyan Tiong, Aliaswat Saleh, Muhamad Ali As SH, A Muis
Amin, HM Jusuf Sjuib, A Muin Idris, HM Syah Bakie SE, Ir Daeng Arifin
Hadi, Ir Said Djafar dan HA Hamid Lahir.
Ketika
pembangunan fisik Masjid Raya Mujahidin, sesuai akta awalnya dinamakan
Masjid Raya Mujahidin, mencapai 70 persen rampung sejak peletakan batu
pertama pembangunannya pada 1974,pada 13 Februari 1976 jabatan Gubernur
Kalimantan Barat diserahterimakan dari Kadarusno kepada Soedjiman.
Hingga 1978, mengisi sementara kekosongan jabatan Ketua Umum, maka
yayasan menunjuk Drs H Rasyidi Hamid untuk menjabat sementara selaku
Ketua Umum. Seterusnya berdasar Akta Notaris Damirie Nomor 85 pada 16
Januari 1978, tersusun kepengurusan baru terdiri dari Penasehat H
Kadarusno, Ketua Umum Soedjiman, Ketua I Muhammad Barir SH, Ketua II H
Achmad Manshur Thahir, Sekretaris I Achmad Mawardi Djafar, Sekretaris II
Drs Noor Ismail, Bendahara Drs Nurdin. Pembantu Hasnul Kabri, HM Saleh
H Thalib, Saiyan Tiong, Aliaswat Saleh, HM Ali As SH, HA Muis Amin, HM
Jusuf Sjuib, A Muin Idris, HM Syah Bakrie SE, Ir Daeng Arifin Hadi. Ir
Said Djafar dan Drs H Rasyidi Hamid.
Pembangunan masjid
ini selain dari sumbangan kaum muslim yang terus mengalir, juga
merupakan dana dari APBD Kalimantan Barat sejak Tahun Anggaran 1975-76.
Pengerjaan fisik masjid dikoordinir arsitek Kalimantan Barat Ir Daeng
Arifin Hadi dan Ir Said Djafar. Dan rancang bangun masjid ini dilakukan
Ir Said Djafar dengan pengerjaan dilakukan PT Barata Jakarta dipimpin
Ir Muchlis Hadi.
Setelah menempuh jangka waktu sekitar 30
tahun sejak inisiatif awal pembangunannya, ditandai didirikannya
Yayasan Mujahidin, akhirnya terwujudlah masjid megah di tengah Kota
Pontianak dengan nama Masjid Raya Mujahidin. Masjid ini diresmikan
Presiden RI Soeharto pada 23 Oktober 1978 bersamaan 20 Zulkaidah 1398
bertepatan Hari Jadi ke 207 Kota Pontianak.
(Sumber: Catatan Akun Facebook: Din Osman)